Say hello,

Sabtu, 09 Maret 2013

Mungkin


Untaian kata sering membuatmu terluka, MUNGKIN aku hadir saat ini mengobati lukamu dengan ketulusan yang aku punya.

Rangkaian sikap sering membuatmu pedih hingga kau mampu memendamnya menjadi emosi, MUNGKIN aku hadir saat ini untuk menyegarkan pandanganmu dengan kesetiaan yang aku punya.

Sederas kesalahan sering membuatmu mengakui dan melakukan pengampunan dosa, MUNGKIN aku hadir saat ini membuatmu bangkit dan dapat melihat kesalahan lain dalam diri ini yang jauh dari sempurna dengan segala keyakinan dan ketaatanku pada Tuhan.

Tidak ada yang sanggup memiilih jalan ini yang pada akhirnya ujung bertemu pangkal, saat itu juga aku yakin kesedihan bertemu kebahagiaan, pengkhianatan bertemu kesetiaan, kebohongan bertemu kejujuran, kesengsaraan bertemu keabadian menjadikan dunia ini penuh makna dan keharuan.

Kutitipkan hati ini kepada Tuhan dan kuserahkan semuanya pada-Nya, memang ini semua milik-Nya.
Hanya kepada-Nya aku percaya bahwa setiap MUNGKIN itu hadir dan melengkapi kekosongan.

Ku berdoa semoga ujung dan pangkal bertemu dan membentuk lingkaran seperti kekecewaan bertemu keceriaan hingga membentuk keabadian.


-Kiar Vansa Febrianti-

Sabtu, 02 Maret 2013

Tafsir yang Membingungkan (Part 1)



Saat itu aku tak mengenal siapa dirinya dan dirimu, tepat di awal tahun 2012. Kini masuk dalam hidupku sebagai lakon alur maju mundur yang cukup komplikatif. Hanya dari tulisan ini lah segala ingatan itu terbaca karena kebingunganku semakin menjadi-jadi. Sebuah mimpi yang membawa jiwa ini masuk dalam kehidupan nyata. Mungkin ini hanya kebetulan saja yang peluangnya besar terjadi oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Perasaan ini jauh terombang-ambing hingga kutemukan arti maksud dari bawah alam atau bunga tidur itu, perlahan tetapi kutemukan banyak ketakutan. Aku manusia lugu yang tidak mengerti apa arti dari kata sakit dan menyakiti. Aku manusia lugu yang tidak mengerti apa arti dari kata 'orang jahat'. Lisan ini senantiasa terjaga dalam lantunan minta ampun kepada-Nya dan sikap ini senantiasa menunjukkan kepribadianku yang tidak semuanya orang ketahui sesungguhnya.

Sore itu, di sebuah danau dikelilingi pepohonan lebat seakan menggambarkan tempat itu berada di tengah hutan. Wangi angin sore, kutemukan kedamaian dan ketenangan hati saat aku duduk dipinggir danau jernih sambil memainkan kaki di atas air danau dengan genit. Aku juga tidak mengerti apakah itu danau atau sungai besar, entahlah. Kunikmati sore itu sambil melihat matahari terbenam dengan cantiknya menemaniku dalam kesendirian dan ketenangan saat itu.

Beberapa menit kemudian datanglah seorang bapak paruh baya yang gagah mengenakan kaos putih dan celana training merah sambil membawa pancingan, tak lupa memakai topi yang hendak dipakai para pemancing hebat. Orang itu tidak pernah aku kenal sebelumnya, datang menghampiriku yang sedang asyik menikmati ketenangan kala itu. Berjalan dengan gagah, pelan, dan tenang di atas air. Seberkas cahaya keluar dari tubuhnya. Aku menengadah melihatnya tidak begitu jelas hingga aku begitu tak peduli siapa yang menghampiriku, tak peduli apa yang akan orang itu lakukan kepadaku. Menghampiri semakin dekat dengan wajah letih kecewa dan tersenyum padaku. Takku perhatikan pasti siapa orang itu. Dirinya mengambil posisi duduk tepat di sebelah kananku. Dirinya mengikuti apa yang aku lakukan, mungkin melepas lelah dan kecewa di wajahnya. Terlihat sedih, ingin kutanyakan tapi aku tak mengenalnya. Kami berdua asyik dalam ketenangan itu bermainkan air dengan kaki-kaki kami dengan genit.

Duduk dan bercerita hingga menunggu Sang Fajar tenggelam. Suasana yang sangat mengharukan. Ditaruhnya topi dan pancingan di sebelah kanannya. Dirinya banyak sekali cerita, aku tak ingat saat di dalam mimpi itu apa saja yang dibicarakan olehnya hingga tak terasa hari itu sudah gelap. Obrolan, curhatan, cerita, atau apalah itu aku tak ingat pasti. Karena begitu tertarik aku dengan cerita-ceritanya akhirnya aku memperhatikan dan melihat parasnya seperti apa. Ya, tetap aku tak mengenal siapa dirinya. Saat aku menengadah ia pun menatapku sambil tetap bercerita. Matanya berkaca-kaca melukiskan lelah dan kecewanya hilang begitu saja karena memberikanku senyuman. Senyuman lepas seperti seorang ayah yang rindu kepada anaknya berharap anaknya mengerti bahawa ia dalam keadaan sangat baik.

Selang pembicaran itu terjadi, aku juga menjadi sungkan begitu lama berbicara dengan orang asing. Kucari cara agar menghentikan pembicaraan itu dengan sengaja. Alasan klasik kupakai. Aku izin untuk buang air karena sudah lama ditahan. Dari belakang aku lihat dirinya masih saja menikmati ketenangan itu. Cahaya yang tadi terpancar saat berjalan di atas air kini meredup saat aku tinggalkan dirinya seorang diri. Alasan bukan alasan ternyata aku ingin buang air kecil, hingga saat itu aku temukan kamar mandi yang begitu banyak jumlahnya. Seribu pintu ya seribu kamar mandi. Aku masuk ke dalam dan ternyata aku terjebak di dalamnya. Bingung, akhirnya berbagai cara aku lakukan untuk segera keluar karena aku ingin melihat orang asing itu masih berada di tempatnya atau tidak. Disaat kesusahan itu datang, seorang kawanku datang dan membantuku keluar dari tempat aneh itu. Berhasil! Setelah kulihat itu hanyalah ilusiku tentang 1000 pintu kamar mandi. Kawanku hilang begitu saja dan aku kembali ke tempat aku duduk di pinggir danau itu.

Terkejut aku melihatnya ternyata orang asing itu masih duduk menunggu aku kembali. Saat aku kembali, ia menanyakan apakah urusanku sudah selesai atau belum. Terlukis di wajahnya bahwa masih ada lelah dan kecewa yang masih menyisa hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan lagi pembicaraan tadi yang sempat tertunda karena alasanku dan kebetulanku juga. Cerita yang menyenangkan karena akhirnya kami berdua tertawa bersama. Saat itu juga aku yakin bahwa ketenangan mampu mengobati kelelahan dan kekecewaannya saat itu. Aku juga tidak mengerti mengapa ia lelah dan apa yang ia lelahkan, seperti orang yang telah merantau jauh tetapi baru singgah di tempat yang benar-benar mau ia singgahi. Aku juga tidak mengerti mengapa ia kecewa dan apa yang ia kecewakan saat itu, seperti orang yang marah kemudian pergi dari rumahnya.

Setelah obrolan itu terjadi hingga beberapa jam dan langit begitu gelap, balasnya ia dengan senyuman sambil menatapku. Senyuman terenyuh yang menandakan ia begitu lepas dari kegundahannya. Aku pun turut bahagia. Sikapku yang awalnya biasa menjadi sangat simpatik dan empatik dengannya. Malam itu sangat gelap. Dalam hutan yang tidak ada penerangan satupun. Kami berdua diterangi hati kami yang berbahagia saat bersenda gurau dan terang dari tubuhnya yang bersinar. Ia berpamitan, dan kulihat lagi wajahnya semakin aku kenal. Brewok dan kacamatanya mungkin menjadi ciri khas yang aku patri hingga aku keluar dari bunga tidur ini. Pamitnya dengan senyum dan ucapan terimakasih. Lalu pergi entah meneruskan perjalanannya sambil membawa pancingannya dan mengenakan topinya yang hendak diletakkan di sisi kanannya. Kulihat ke belakang seiring menggambarkan aku mengantarnya pergi, dirinya pergi dengan cahaya di tubuhnya dan semakin lama semakin hilang.

Aku terbangun dan aku menyadari saat itu jiwaku berada di alam bunga tidur. Aku penasaran siapakah orang asing itu. Aku tersentak kaget karena aku tidak pernah bermimpi setiap tertidur dan aku tidak pernah bermimpi orang yang masih hidup. Dalam benakku, aku berpikir apakah orang itu telah tiada yang mengartikan bahwa ia datang menemuiku untuk menyusulnya kelak? Terbangun dan akhirnya aku memikirkannya apa yang akan terjadi. Aku takut ini sebuah pesan namun tak dapat aku artikan seutuhnya sehingga aku tidak bisa membawa amanahnya. Takut sekali. Rasa ketakutanku hingga membawaku bermimpi itu lagi dan menunggunya kembali ternyata ia tak pernah datang lagi. Sebuah tafsir yang sulit dimengerti. Mengapa harus aku yang bermimpi indah, klasik, menenangkan, dan membingungkan itu? Mengapa bukan orang lain? Mengapa dirinya pergi tidak kembali dan menjelaskan semua apa yang terjadi sehingga tidak ada satu hal pun yang bakal membuat aku bingung?

Aku buka album foto orang yang sering mengusik dan menggandrungi kehidupanku. Setelah kutemukan foto bersama anak kecil berambut keriting. Foto saat dirinya sedang terbaring dan senyum merekah bersama anak kecil itu. Sontak aku berteriak-teriak dalam kamar dengan memandangi laptopku, "Ini orang yang ada di mimpi kemarin! Mirip.. ya mirip sekali! Tidak salah ingatanku saat ia menengok ke diriku dengan senyum merekah dan tawanya yang membahana". Dalam album foto Fakhrizal Arsi. Ketika kutanyakan siapa gerangan yang ada di dalam bunga tidur itu ternyata ayahnya, alm. Achjar Chalil.