Seiring
berjalannya waktu, tak pernah terpikirkan olehku untuk bermimpi dan bertemu
dengan dirinya kembali. Jarak antara pertemuan pertama kali hingga kini
terhitung sudah sampai satu tahun lamanya. Liku perjalananku yang sedang
menyandang status dengan anaknya akhirnya perlahan dapat terselesaikan satu
persatu, menyelesaikan masalah-masalahnya yang terdahulu dan masalah dalam
dirinya yang begitu takut dengan orang di masa lalunya. Sangat sulit bagiku
untuk memikirkan bagaimana cara menyampaikannya atau menyemangatinya atau
menasihatinya karena mengingat usia kami terpaut dua tahun dan jelas ia lebih
dewasa dariku.
Malam itu tepat
pukul 22.30 WIB aku masih berkutat dengan materi perkuliahan Fisika Gelombang
yang sangat sulit. Aku mempersiapkan diri untuk menempuh Ujian Tengah Semester
untuk mata kuliah tersebut, begitu amat sangat gundah dan gelisah. Rasaku saat
itu bercampur aduk antara kabingunganku akan apa yang terjadi esok hari saat
tengah mengerjakan soal ujian dengan kebingunganku akan ketakutan anak Ayah
saat itu. Otakku terus berputar hingga tak sadar ponselku berbunyi yang
menyatakan bahwa materi ujian ditambah satu bab.
Rasa itu semakin
menjadi, sungguh amat gelisah. Tak sadar waktu menunjukkan telah larut, malam
pun memanggilku untuk segera bertemu dengan bunga tidur. Satu masalah
terselesaikan dengan baik, ya masalah bagaimana caraku menyampaikan atau
menasihati anak Ayah. Satu masalah ini membuatku lega, sangat lega. Satu
masalah lagi masih menggantung karena dapat terselesaikan jika hari esok hari
ujian tiba terlewatkan dan akan menjadi cerita hari kemarin.
Tertidurlah aku
dengan tumpukan buku dan catatan yang berserakan. Malam begitu kuat menarikku
kedalam medan bunga tidur. Dan seharusnya perasaan gundah akan ujian tengah
semester itu terbawa dalam bunga tidur karena terus mengikutiku dalam sebuah ilusi
berkepanjangan, namun kejadian berkata sebaliknya ya rasa lega itu ternyata
masuk diam-diam tanpa rencana ke dalam bunga tidurku.
Tanpa aku sadari,
tanpa aku pikirkan, dan tanpa aku duga. Aku bertemu dengannya kembali di dalam
bunga tidurku. Di tempat dan waktu yang sama mengisahkan aku dengannya. Di
pinggir danau beratapkan langit sore kemerahan ditemani wangi angin. Keadaan yang begitu tenang, damai,
dan sepi tak ada seorang pun di sana hanya aku dan Ayah. Dengan pakaian-pakaian
kami yang sama seperti pertama kali bertemu.
Kami bermainkan
kaki-kaki kami dengan genit di pinggir danau jernih itu namun seketika kami berhenti
bermainkan kaki-kaki kami. Berhenti karena perasaanku yang ingin mengabarkan
pada dunia bahwa aku begitu amat lega dan bahagia telah menyelesaikan masalahku
dengan anak Ayah. Bukan masalah pertengkaran melainkan masalah dirinya yang
begitu takut dengan masa lalu, justru aku tidak pernah bertengkar dengan anak
Ayah.
Berhenti, hingga
Ayah juga menghentikan kakinya untuk tidak bermainkan air danau itu. Aku
mengangkat kedua kakiku dari air dan mendekapkannya ke dada untuk menundukkan
kepalaku seperti memangkuku. Aku menangis,
menangis lega, menangis takut salah tindakan. Akhirnya dirinya memelukku dan mendekapkanku
ke dada dan pundaknya. Dirinya meraihku dengan tangan kirinya yang posisi
duduknya berada di samping kananku. Aku menangis terisak-isak hingga lelah dan
berhenti dengan sendirinya. Dirinya memelukku dan menepuk-nepuk pundak kiriku.
Tangan kanannya meraih kepalaku dan mengusap-usapkannya.
Tidak ada sepatah
kata pun yang diucapkannya hanya beberapa bahasa tubuh yang sangat aku mengerti
pada saat itu dan kemudian aku balas dengan senyuman. Gingsulku juga tak malu
menyapa dirinya. Yang aku ingat beberapa arti kata yaitu “Terima kasih” dan
“Sudahlah jangan menangis lagi”. Entah apa maksudnya dan entah mengapa aku
mengartikannya seperti itu. Ibu jari kanannya diacungkan ke depan, ya
dihadapanku. Perasaanku kian membaik dan segala pertanyaanku akan kebingunganku
tentang dirinya pun sirna seakan aku tidak membutuhkan itu lagi. Isakkan
tangisku mulai berhenti dan dirinya membalikkanku untuk menghadapkan diriku ke
depan dirinya dengan kedua tangannya yang tegas untuk meraih kedua pundakku.
Sisa-sisa air mata seusai aku menangis masih tertinggal di pipi dan mataku. Aku
tak berbicara sepatah kata pun. Saat itu aku begitu lemah ingin
mengistirahatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Dirinya menghapus sisa-sisa air
mataku dengan kedua ibu jarinya bak sapu tangan rajutan kasih sayangnya, ya ibu
jari kirinya menghapus air mata di pipi kananku dan ibu jari kanannya menghapus
air mata di pipi kiriku.
Senyumnya begitu
khas hingga mampu membuatku tenang bersamanya. Dirinya tersenyum padaku dan kubalas
dengan senyumku juga. Senyum yang tulus yang mampu membuatku lebih tak berdaya
mengingat apa saja yang telah terjadi olehku belakangan ini setelah berjumpa
dengannya pertama kali hingga kini. Ingin kudapatkan ketenangan lebih dan
memastikan semuanya baik-baik saja, kurangkul dirinya yang besar hingga kedua
tanganku melingkar sulit saling bertemu. Ia mengatakan “Sudah jangan menangis
lagi, semua akan baik-baik saja” dengan bahasa tubuhnya yang sangat aku
mengerti dan terdengarlah suara jantungnya yang berdetak lembut menandakan apa
yang dikatakan olehnya adalah benar.
Terkejut aku
dengan bunga tidurku sendiri dan tersentak aku terbangun. Tak terasa kuusap
kedua mataku ternyata membawa air mata. Apakah benar aku telah menangis? Tidak
hanya di alam mimpi namun di dunia nyataku sendiri. Membawa air mata ke dunia
nyata atau arwahku berjalan menusuri ke tempat itu, tempat yang sangat damai
dan tak pernah aku temui.
Mentari dengan
hangat menyambutku dengan ketenangan lebih dan kepastian yang kulakukan adalah
benar. Aku bangkit dari kegelisahanku dan bercermin sambil mengatakan “Wahai
dunia, kini aku kembali pada kenyataan dan semua sudah baik-baik saja. Lihatlah
aku dengan semangatku merajut perjalanan hidupku dengan cinta kasih Tuhan
seutuhnya”.