Ternyata cerita
tentang kami berlanjut tidak hanya bertemu dalam satu kali pertemuan saja.
Cukup membuatku bertanya-tanya tentang apa yang diinginkan oleh lelaki paruh
baya tersebut yang kini kukenal dengan sebutan “Ayah”. Masih sangat jelas
terlukis raut wajahnya yang khas dan karakternya yang begitu tegas.
Di tempat dan
waktu yang sama seperti yang aku ceritakan pada Tafsir yang Membingungkan (Part1) kini menuai alur berkelanjutan dari judul sebelumnya. Rasa penasaranku kian
membara karena sekian lama aku tidak pernah menemukan mimpi dalam setiap
tidurku, mungkin terakhir kali aku bermimpi bertemu dengan orang-orang yang
telah tiada ya nenekku, pakdeku, kakak sepupuku yang telah mendahuluiku
semuanya.
Aku pastikan kembali apakah lelaki
paruh baya tersebut benar-benar telah tiada dan semua keraguanku terjawab sudah
bahwa dirinya memang benar telah tiada. Aku semakin berpikir kritis hingga di
dalam bunga tidur itu yang aku ingat adalah kisah-kisahku dengannya.
Di tempat dan waktu yang sama aku
membawa sebuah catatan kecil beserta alat tulis yang siap aku utarakan segala
pertanyaan akan kebingunganku tentang keinginan dirinya hingga masuk ke dalam
bunga tidurku. Kutuggu dirinya sambil berdiri di tepi danau ditemani langit
sore kemerahan. Kutunggu hingga malam menyelimuti ketakutanku karena
kesendirianku di tempat itu. Dirinya pun tak kunjung datang.
Aku ingat sekali ternyata baju yang
kukenakan masih sama seperti sebelumnya. Aku mencari berkas-berkas cahaya di
pelosok pepohonan yang mirip sekali dengan hutan. Tak ada satupun berkas cahaya
yang menyala seperti saat itu dirinya bertemu denganku, cahaya yang terpancar
dari tubuhnya. Kini rasa kebingungannku berubah mejadi kekecewaan karena semua
pertanyaanku tentang dirinya harus tertunda. Tertunda entah karena apa yang
pasti saat itu aku yakin suatu saat aku bisa bertemu dengannya kembali di
tempat yang sama dengan bermainkan kaki-kaki kami dengan genit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar