Say hello,

Senin, 17 Juni 2013

Tafsir yang Membingungkan (Part 3)


Seiring berjalannya waktu, tak pernah terpikirkan olehku untuk bermimpi dan bertemu dengan dirinya kembali. Jarak antara pertemuan pertama kali hingga kini terhitung sudah sampai satu tahun lamanya. Liku perjalananku yang sedang menyandang status dengan anaknya akhirnya perlahan dapat terselesaikan satu persatu, menyelesaikan masalah-masalahnya yang terdahulu dan masalah dalam dirinya yang begitu takut dengan orang di masa lalunya. Sangat sulit bagiku untuk memikirkan bagaimana cara menyampaikannya atau menyemangatinya atau menasihatinya karena mengingat usia kami terpaut dua tahun dan jelas ia lebih dewasa dariku.

Malam itu tepat pukul 22.30 WIB aku masih berkutat dengan materi perkuliahan Fisika Gelombang yang sangat sulit. Aku mempersiapkan diri untuk menempuh Ujian Tengah Semester untuk mata kuliah tersebut, begitu amat sangat gundah dan gelisah. Rasaku saat itu bercampur aduk antara kabingunganku akan apa yang terjadi esok hari saat tengah mengerjakan soal ujian dengan kebingunganku akan ketakutan anak Ayah saat itu. Otakku terus berputar hingga tak sadar ponselku berbunyi yang menyatakan bahwa materi ujian ditambah satu bab.

Rasa itu semakin menjadi, sungguh amat gelisah. Tak sadar waktu menunjukkan telah larut, malam pun memanggilku untuk segera bertemu dengan bunga tidur. Satu masalah terselesaikan dengan baik, ya masalah bagaimana caraku menyampaikan atau menasihati anak Ayah. Satu masalah ini membuatku lega, sangat lega. Satu masalah lagi masih menggantung karena dapat terselesaikan jika hari esok hari ujian tiba terlewatkan dan akan menjadi cerita hari kemarin.

Tertidurlah aku dengan tumpukan buku dan catatan yang berserakan. Malam begitu kuat menarikku kedalam medan bunga tidur. Dan seharusnya perasaan gundah akan ujian tengah semester itu terbawa dalam bunga tidur karena terus mengikutiku dalam sebuah ilusi berkepanjangan, namun kejadian berkata sebaliknya ya rasa lega itu ternyata masuk diam-diam tanpa rencana ke dalam bunga tidurku.

Tanpa aku sadari, tanpa aku pikirkan, dan tanpa aku duga. Aku bertemu dengannya kembali di dalam bunga tidurku. Di tempat dan waktu yang sama mengisahkan aku dengannya. Di pinggir danau beratapkan langit sore kemerahan ditemani wangi angin. Keadaan yang begitu tenang, damai, dan sepi tak ada seorang pun di sana hanya aku dan Ayah. Dengan pakaian-pakaian kami yang sama seperti pertama kali bertemu.

Kami bermainkan kaki-kaki kami dengan genit di pinggir danau jernih itu namun seketika kami berhenti bermainkan kaki-kaki kami. Berhenti karena perasaanku yang ingin mengabarkan pada dunia bahwa aku begitu amat lega dan bahagia telah menyelesaikan masalahku dengan anak Ayah. Bukan masalah pertengkaran melainkan masalah dirinya yang begitu takut dengan masa lalu, justru aku tidak pernah bertengkar dengan anak Ayah.

Berhenti, hingga Ayah juga menghentikan kakinya untuk tidak bermainkan air danau itu. Aku mengangkat kedua kakiku dari air dan mendekapkannya ke dada untuk menundukkan kepalaku seperti memangkuku. Aku menangis, menangis lega, menangis takut salah tindakan. Akhirnya dirinya memelukku dan mendekapkanku ke dada dan pundaknya. Dirinya meraihku dengan tangan kirinya yang posisi duduknya berada di samping kananku. Aku menangis terisak-isak hingga lelah dan berhenti dengan sendirinya. Dirinya memelukku dan menepuk-nepuk pundak kiriku. Tangan kanannya meraih kepalaku dan mengusap-usapkannya.



Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkannya hanya beberapa bahasa tubuh yang sangat aku mengerti pada saat itu dan kemudian aku balas dengan senyuman. Gingsulku juga tak malu menyapa dirinya. Yang aku ingat beberapa arti kata yaitu “Terima kasih” dan “Sudahlah jangan menangis lagi”. Entah apa maksudnya dan entah mengapa aku mengartikannya seperti itu. Ibu jari kanannya diacungkan ke depan, ya dihadapanku. Perasaanku kian membaik dan segala pertanyaanku akan kebingunganku tentang dirinya pun sirna seakan aku tidak membutuhkan itu lagi. Isakkan tangisku mulai berhenti dan dirinya membalikkanku untuk menghadapkan diriku ke depan dirinya dengan kedua tangannya yang tegas untuk meraih kedua pundakku. Sisa-sisa air mata seusai aku menangis masih tertinggal di pipi dan mataku. Aku tak berbicara sepatah kata pun. Saat itu aku begitu lemah ingin mengistirahatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Dirinya menghapus sisa-sisa air mataku dengan kedua ibu jarinya bak sapu tangan rajutan kasih sayangnya, ya ibu jari kirinya menghapus air mata di pipi kananku dan ibu jari kanannya menghapus air mata di pipi kiriku.

Senyumnya begitu khas hingga mampu membuatku tenang bersamanya. Dirinya tersenyum padaku dan kubalas dengan senyumku juga. Senyum yang tulus yang mampu membuatku lebih tak berdaya mengingat apa saja yang telah terjadi olehku belakangan ini setelah berjumpa dengannya pertama kali hingga kini. Ingin kudapatkan ketenangan lebih dan memastikan semuanya baik-baik saja, kurangkul dirinya yang besar hingga kedua tanganku melingkar sulit saling bertemu. Ia mengatakan “Sudah jangan menangis lagi, semua akan baik-baik saja” dengan bahasa tubuhnya yang sangat aku mengerti dan terdengarlah suara jantungnya yang berdetak lembut menandakan apa yang dikatakan olehnya adalah benar.

Terkejut aku dengan bunga tidurku sendiri dan tersentak aku terbangun. Tak terasa kuusap kedua mataku ternyata membawa air mata. Apakah benar aku telah menangis? Tidak hanya di alam mimpi namun di dunia nyataku sendiri. Membawa air mata ke dunia nyata atau arwahku berjalan menusuri ke tempat itu, tempat yang sangat damai dan tak pernah aku temui.

Mentari dengan hangat menyambutku dengan ketenangan lebih dan kepastian yang kulakukan adalah benar. Aku bangkit dari kegelisahanku dan bercermin sambil mengatakan “Wahai dunia, kini aku kembali pada kenyataan dan semua sudah baik-baik saja. Lihatlah aku dengan semangatku merajut perjalanan hidupku dengan cinta kasih Tuhan seutuhnya”.

Tidak ada komentar: