Say hello,

Rabu, 07 Maret 2012

Essay Blogdetik


Tidak Ada Jarak pada Do’a Kami

Oleh Kiar Vansa Febrianti

Mengingat arti kebersamaan dalam sebuah hubungan keluarga itu tidak pernah terlepas dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kisah ini fakta terjadi dan masih hangat dalam pelukan seorang ibu dari surga. Bulan Ramadhan adalah bulan penuh kemenangan dan keajaiban. Sebesit kata itu belum pernah kami mempercayainya bagaimana wujud kemenangan dan keajaiban itu sebelum benar-benar tampak di depan mata, padahal seharusnya kita sebagai umat muslim yang beragama mempercayai dan meyakini dengan segenap hati akan keindahan bulan Ramadhan.
Penantian panjang selama kurang lebih delapan bulan dari seorang anak-anaknya yang lugu dan seorang suami yang setia akhirnya berbuah hasil. Cahaya dari lantunan Yaasiin Fadhilah dan 99 asma Allah SWT pun terpancar dengan rasa kesabaran kami. Wajah ceria menyelimuti keluarga kami setelah waktu panjang itu yang telah membuat kami pasrah tetapi tetap optimis akan keadaan ibu yang tengah sakit keras bahkan kami menganggap sakaratul. Puji-pujian kami selalu panjatkan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Pada awal puasa Ramadhan tahun ini, keadaan ibunda belum juga membaik justru semakin parah. Tidak menunjukkan apapun kami hanya berusaha untuk selalu berjuang demi kesembuhan ibunda serta berdo’a siang dan malam dihadapannya. Setiap usai shalat tarawih kami melantunkan Yaasiin Fadhilah dan 99 asma Allah SWT dihadapan dan telinganya. Dan ayah selalu mengingatkan saya dan adik-adik saya, “Tolonglah, kamu semua kan anak-anaknya, bantu ayah untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an buat ibu kalian. Karena do’a kalian tidak ada jarak untuk seorang Ibu. Sedangkan Ayah bukan siapa-siapa melainkan orang lain. Niatkan dan ikhlaskan berdo’a untuk Ibu. Insyaallah do’a kalian langsung dikabulkan tanpa jeda waktu dan tanpa perantara. Siang dan malam bahkan setiap saat. Usahakan setiap tengah malam agar lebih hikmad dan khusyuk. Kamu kan anak-anak yang sholeh dan sholehah”. 
Kami yang mendengarkannya langsung mengambil Al-Qur’an dan buku Yaasiin Fadhilah. Secara rutin seusai shalat tarawih dan shalat-shalat sunnah malam selama bulan puasa kami berempat melantunkan ayat-ayat suci dengan rasa penuh ikhlas dan cinta kasih. Kami sekeluarga benar-benar menjalankan ibadah di bulan nan fitri kali ini penuh hikmad dan sungguh-sungguh. Subhanallah. Keajaiban dan apa yang dikatakan ayah pun benar-benar terjadi. Kami semua yang telah menunggu selama itu baru kali ini kami menemukan cahaya dan keceriaan dalam keluarga kami. Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tepatnya, ibunda sehat wal’afiat dengan kondisi yang benar-benar sangat baik. Telah sadar dari tidurnya yang panjang, selang infus pun tidak ada yang melekat di tubuhnya lagi, serta selang yang ada di hidungnya untuk makan pun dilepas dan dapat memakan makanan secara normal. Ibunda juga sangat menyenangkan karena sudah bisa bicara layaknya orang biasa dan sudah meminta untuk makan es krim, bakso, kerupuk, opor ayam, dan lain-lain sampai hari raya Idul Fitri pun tiba.
“Es krimnya masih ada kan di kulkas? Aku mau”, pinta ibunda.
“Iya ada tapi makan dulu”, sahut saya.
“Aku mau makan opor ayam pakai kerupuk ya”, pintanya tegas lagi.
“Boleh kok!” jawab saya.
Spontan yang mendengarkannya pun terasa bahagia dan kami semua terharu biru dan menitikkan air mata kebahagiaan.
“Alhamdulillah Yaa Rabb… Bener kan kata Ayah? Sering-seringlah kalian berdo’a dan jangan sampai putus do’a kalian”, nasihat ayah.
Sempat saya tanyakan apakah beliau menginginkan pergi atau pulang ke kampung halamannya apa tidak.
“Bu, mau ke Cakung gak?” tanya saya.
“Gak. Di rumah aja”, ungkapnya.
“Mau ke Banjar gak?” tanya saya penasaran.
“Gak ah di rumah aja. Aku mau bisa jalan, Kiar”, jelasnya yang membuat saya terkejut akan semangatnya untuk bangkit.
“Iya insyaallah ya. Berdo’a sama Allah SWT ya. Ayo kita belajar jalan!”, sahut saya dengan semangat.
Ternyata dibalik percakapannya dan kesembuhannya itu adalah yang awal dan terakhir untuknya. Pada saat merayakan hari lebaran, sempat kami bermaaf-maafan dengan ibunda. Tidak hanya sekeluarga tetapi juga para kerabat dan tetangga rumah. Kebahagiaan kami memudar pada hari Jum’at tanggal 02 Sepetember 2011 karena ibunda kembali dalam pelukan Sang Pencipta. Innalillahi wainnailaihi roji’un. Kami tidak boleh bersedih karena mungkin ini semua adalah yang terbaik dan kepergian ibunda juga sudah ditentukan tetapi tidak ada satupun yang mengetahuinya selain Allah SWT. Dan menurut kami, mendo’akan ibunda pun tidak ada yang sia-sia. Ini keajaiban di bulan Ramadhan. Kami telah diberikan kebahagiaan yang luar biasa meskipun hanya sebentar tetapi itu adalah nikmat dari Allah SWT yang wajib kita syukuri. Kami ikhlas dan kami senang karena bisa melihat ibunda tanpa harus merasakan sakitnya lagi di kepala karena tumor otaknya yang ganas yang telah menggerogoti waktu dan tubuhnya sampai habis tinggal tulang belulang. Selamat jalan ibunda. Ibunda akan selalu hidup di dalam hati kami. Semoga ibunda bahagia di sana di surga Allah SWT. Kepergianmu di hari Jum’at adalah hari yang baik. Do’a kami, anak-anakmu dan suami mu, akan selalu mengalir untukmu ibunda.
Senin, 5 September 2011

Alhamdulillah,
Essay ini menempati posisi juara 4
Lomba ini diselenggarakan oleh blogdetik dalam rangka peluncuran buku terbaru anaknya Bapak Amien Rais yaitu Hanum Rais.

                                                     Oiya ini bukunya:

                     

Tidak ada komentar: