Tidak Ada Jarak pada Do’a Kami
Oleh Kiar Vansa Febrianti
Mengingat
arti kebersamaan dalam sebuah hubungan keluarga itu tidak pernah terlepas
dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kisah ini fakta terjadi dan masih hangat
dalam pelukan seorang ibu dari surga. Bulan Ramadhan adalah bulan penuh
kemenangan dan keajaiban. Sebesit kata itu belum pernah kami mempercayainya
bagaimana wujud kemenangan dan keajaiban itu sebelum benar-benar tampak di
depan mata, padahal seharusnya kita sebagai umat muslim yang beragama mempercayai
dan meyakini dengan segenap hati akan keindahan bulan Ramadhan.
Penantian
panjang selama kurang lebih delapan bulan dari seorang anak-anaknya yang lugu
dan seorang suami yang setia akhirnya berbuah hasil. Cahaya dari lantunan
Yaasiin Fadhilah dan 99 asma Allah SWT pun terpancar dengan rasa kesabaran
kami. Wajah ceria menyelimuti keluarga kami setelah waktu panjang itu yang
telah membuat kami pasrah tetapi tetap optimis akan keadaan ibu yang tengah
sakit keras bahkan kami menganggap sakaratul. Puji-pujian kami selalu panjatkan
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Pada
awal puasa Ramadhan tahun ini, keadaan ibunda belum juga membaik justru semakin
parah. Tidak menunjukkan apapun kami hanya berusaha untuk selalu berjuang demi
kesembuhan ibunda serta berdo’a siang dan malam dihadapannya. Setiap usai shalat
tarawih kami melantunkan Yaasiin Fadhilah dan 99 asma Allah SWT dihadapan dan
telinganya. Dan ayah selalu mengingatkan saya dan adik-adik saya, “Tolonglah,
kamu semua kan anak-anaknya, bantu ayah untuk membacakan ayat-ayat suci
Al-Qur’an buat ibu kalian. Karena do’a kalian tidak ada jarak untuk seorang Ibu.
Sedangkan Ayah bukan siapa-siapa melainkan orang lain. Niatkan dan ikhlaskan
berdo’a untuk Ibu. Insyaallah do’a kalian langsung dikabulkan tanpa jeda waktu dan
tanpa perantara. Siang dan malam bahkan setiap saat. Usahakan setiap tengah
malam agar lebih hikmad dan khusyuk. Kamu kan anak-anak yang sholeh dan
sholehah”.
Kami
yang mendengarkannya langsung mengambil Al-Qur’an dan buku Yaasiin Fadhilah.
Secara rutin seusai shalat tarawih dan shalat-shalat sunnah malam selama bulan
puasa kami berempat melantunkan ayat-ayat suci dengan rasa penuh ikhlas dan
cinta kasih. Kami sekeluarga benar-benar menjalankan ibadah di bulan nan fitri
kali ini penuh hikmad dan sungguh-sungguh. Subhanallah. Keajaiban dan apa yang
dikatakan ayah pun benar-benar terjadi. Kami semua yang telah menunggu selama
itu baru kali ini kami menemukan cahaya dan keceriaan dalam keluarga kami.
Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tepatnya, ibunda sehat wal’afiat dengan
kondisi yang benar-benar sangat baik. Telah sadar dari tidurnya yang panjang,
selang infus pun tidak ada yang melekat di tubuhnya lagi, serta selang yang ada
di hidungnya untuk makan pun dilepas dan dapat memakan makanan secara normal.
Ibunda juga sangat menyenangkan karena sudah bisa bicara layaknya orang biasa
dan sudah meminta untuk makan es krim, bakso, kerupuk, opor ayam, dan lain-lain
sampai hari raya Idul Fitri pun tiba.
“Es
krimnya masih ada kan di kulkas? Aku mau”, pinta ibunda.
“Iya
ada tapi makan dulu”, sahut saya.
“Aku
mau makan opor ayam pakai kerupuk ya”, pintanya tegas lagi.
“Boleh
kok!” jawab saya.
Spontan
yang mendengarkannya pun terasa bahagia dan kami semua terharu biru dan
menitikkan air mata kebahagiaan.
“Alhamdulillah
Yaa Rabb… Bener kan kata Ayah? Sering-seringlah kalian berdo’a dan jangan
sampai putus do’a kalian”, nasihat ayah.
Sempat
saya tanyakan apakah beliau menginginkan pergi atau pulang ke kampung
halamannya apa tidak.
“Bu,
mau ke Cakung gak?” tanya saya.
“Gak.
Di rumah aja”, ungkapnya.
“Mau
ke Banjar gak?” tanya saya penasaran.
“Gak
ah di rumah aja. Aku mau bisa jalan, Kiar”, jelasnya yang membuat saya terkejut
akan semangatnya untuk bangkit.
“Iya insyaallah ya. Berdo’a sama Allah SWT ya. Ayo kita
belajar jalan!”, sahut saya dengan semangat.
Ternyata
dibalik percakapannya dan kesembuhannya itu adalah yang awal dan terakhir
untuknya. Pada saat merayakan hari lebaran, sempat kami bermaaf-maafan dengan
ibunda. Tidak hanya sekeluarga tetapi juga para kerabat dan tetangga rumah. Kebahagiaan
kami memudar pada hari Jum’at tanggal 02 Sepetember 2011 karena ibunda kembali
dalam pelukan Sang Pencipta. Innalillahi wainnailaihi roji’un. Kami tidak boleh
bersedih karena mungkin ini semua adalah yang terbaik dan kepergian ibunda juga
sudah ditentukan tetapi tidak ada satupun yang mengetahuinya selain Allah SWT.
Dan menurut kami, mendo’akan ibunda pun tidak ada yang sia-sia. Ini keajaiban
di bulan Ramadhan. Kami telah diberikan kebahagiaan yang luar biasa meskipun
hanya sebentar tetapi itu adalah nikmat dari Allah SWT yang wajib kita syukuri.
Kami ikhlas dan kami senang karena bisa melihat ibunda tanpa harus merasakan
sakitnya lagi di kepala karena tumor otaknya yang ganas yang telah menggerogoti
waktu dan tubuhnya sampai habis tinggal tulang belulang. Selamat jalan ibunda.
Ibunda akan selalu hidup di dalam hati kami. Semoga ibunda bahagia di sana di
surga Allah SWT. Kepergianmu di hari Jum’at adalah hari yang baik. Do’a kami,
anak-anakmu dan suami mu, akan selalu mengalir untukmu ibunda.
Senin, 5 September 2011
Alhamdulillah,
Essay ini menempati
posisi juara 4
Lomba ini
diselenggarakan oleh blogdetik dalam rangka peluncuran buku terbaru anaknya Bapak
Amien Rais yaitu Hanum Rais.
Oiya
ini bukunya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar